Selasa, 05 Mei 2009

Berfikit positif POSITIVE THINKING

POSITIVE THINKING

Assalamualaikum Warahmatullah, Saudaraku

Islam menganjurkan kepada umat manusia agar dapat bisa menikmati hidup ini dengan tentram, tenang, damai dan tanpa beban. Menikmati hidup dengan selalu tersenyum, ringan dalam melangkah, serta memandang dunia dengan berseri-seri. Seperti itulah gambaran ideal orang yang bertaqwa..., merasa selalu dekat dengan Allah dimanapun mereka berada. Inilah implementasi dari ajaran Islam yang memang dirancang untuk selalu memudahkan dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Allah berfirman: “Kami tidak mengutusmu Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS Al-Anbiya 21:107)


Untuk mewujudkan hidup yang selalu tersenyum, ringan dan tanpa beban tersebut, maka Islam memberikan beberapa tuntunan, diantaranya yang utama adalah : Selalu berbaik sangka (Khusnudzdzan) kepada siapapun, menjaga keseimbangan, juga dengan berpikir positif.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: mengapa Islam sampai menekankan pentingnya khusnudzdzan (berbaik sangka) dan berpikir positif? Paling tidak, ada empat alasan yang bisa dikemukakan di sini.

1. Pertama,

Kita harus khusnudzdzan dan berpikir positif karena ternyata orang lain yang sering kita temui (dalam keluarga, kantor maupun dilingkungan masyarakat) seringkali tidak seburuk yang kita sangka.

Contoh terbaik mengenai hal ini ialah kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa
Alaihima As-Salam. Suatu kali, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk menambah ilmu dari seseorang yang sedang berdiri di tepi pantai yang mempertemukan dua arus laut. Setelah mencari tempat yang dimaksud, di situ beliau menemukan Nabi Khidhir, dan kemudian mengutarakan maksudnya. Nabi Khidhir mau menerima dengan satu syarat; Nabi Musa tidak boleh grasa-grusu bertanya sampai Nabi Khidhir menjelaskan.

“Tapi aku yakin, kamu tidak akan bisa bersabar”, tambah Nabi Khidhir lagi.

Namun karena Nabi Musa bersikeras, akhirnya dimulailah perjalanan beliau berdua berdasarkan syarat tadi. Ternyata benar!! Ketika dalam perjalanan itu Nabi Khidhir melakonkan hikmah demi hikmah yang telah diperintahkan oleh Allah, tak sekalipun Nabi Musa mampu bersabar untuk tidak grasa-grusu menafsirkan yang bukan-bukan. (Al-Kahfi [18]: ayat 60-82).

Dalam kisah Qur’ani ini, poin penting yang dapat dipetik:

kita harus selalu berbaik sangka dan berpikir positif terhadap orang lain, siapapun mereka. Karena, bisa jadi, orang lain tidaklah seburuk yang kita kira. Sebab kita hanya bisa melihat apa yang tampak, namun tidak tahu niat baik apa yang ada di hatinya…dan seterusnya.

2. Kedua,

Berbaik sangka dan berpikir positif dapat mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan.

Kita dapat kisah teladan Rasulullah SAW, ketika seluruh kafilah-kafilah Arab berkumpul di Makkah pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu. Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan risalah Islam kepada semua kafilah itu. Namun yang terjadi, mereka justru mencaci dan menyakiti Rasulullah, serta melempari wajah beliau dengan pasir,datanglah malaikat menemui Rasul:

“Wahai Muhammad, dengan perlakuan mereka ini sudah sepantasnya jika kamu berdo’a kepada Allah agar membinasakan mereka seperti do’a Nuh –`Alaihi As-Salam—atas kaumnya.”

Rasulullah segera mengangkat tangan beliau. Tetapi yang terucap dalam do’a beliau bukanlah do’a kutukan, melainkan permintaan maaf kepada Allah:

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka melakukan semua ini terhadapku hanya karena mereka tidaktahu. Ya Allah, tolonglah aku agar mereka bisa menyambut ajakan untuk taat kepada-Mu.”

Pilihan beliau ternyata tidak salah. Tak lama setelah peristiwa tersebut, mereka yang pernah menyakiti beliau berangsur-angsur memeluk Islam dan menjadi Sahabat yang paling setia. Ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an,

“Tanggapilah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dengan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat akrab.” (QS Al-Fushilat 41:34)

3. Ketiga,

Berbaik sangka dan berpikir positif dapat menyelamatkan hati dan hidup kita. Sebab hati yang bersih adalah hati yang tidak menyimpan kebencian.

Hati yang tenteram adalah hati yang tidakmemendam syakwasangka dan apriori terhadap orang lain. Dan hati yang berseri-seri hanyalah hati yang selalu berpikir positif bagi dirinya maupun orang lain. Kebencian, berburuk sangka dan berpikir negatif hanya akan meracuni hati kita. Sebab itulah, ketika Orang-orang Yahudi mengumpat Rasulullah SAW yang sedang duduk santai bersama Aisyah Radhiyallahu `Anha, dan Aisyah terpancing dengan balas menyumpahi mereka; Rasulullah segera mengingatkan Aisyah,

“Kamu tidak perlu begitu, karena sesungguhnya Allah menyukai kesantunan dan kelemah-lembutan dalam segala hal.”

Subhanallah!!

Beliau yang seorang utusan Allah dan pemimpin masyarakat muslim, yang sebenarnya bisa dengan mudah membalas perlakuan Orang-orang Yahudi itu, ternyata memilih untuk tetap santun dan berpikir positif agar menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Senada dengan hadits di atas, ada ungkapan yang sangat menggugah dari seorang sufi:

“Yang paling penting adalah bagaimana kita selalu baik kepada semua orang. Kalau kemudian ada orang yang tidak baik kepada kita, itu bukan urusan kita, tapi urusan orang itu dengan Allah SWT.”

4. Keempat,

Berpikir positif bisa membuat hidup kita penuh dengan ridha, legowo, rela atas setiap kejadian, menerima apa adanya, karena Allah SWT seringkali menyiapkan rencana- rencana yang mengejutkan bagi setiap hamba-Nya.

Dikisahkan ada seorang remaja penjual tempe, yang berangkat dari rumahnya di sebuah dusun pada pagi hari seusai shalat subuh, di tengah pematang sawah tiba-tiba pikulannya patah, pikulan di sebelah kiri masuk ke sawah dan yang di sebelah kanan masuk ke kolam. Betapa kaget, sedih, kesal dan merasa sangat sial, jualan belum untung, bahkan modalpun habis terbenam, dengan penuh kemurungan mereka kembali ke rumah.

Remaja itupun sudah membayangkan betapa marahnya kedua orang tuanya mengetahui semua tempe yang mau dijual kepasar tidak membawa hasil, ternyata dugaan remaja tersebut benar, sang Ibupun otomatis marah-marah luar biasa. Tapi dua jam kemudian datang berita yang mengejutkan, ternyata kendaraan yang biasa ditumpangi para pedagang tempe itu baru saja terkena musibah kecelakaan, sehingga seluruh penumpangnya terluka, bahkan dua diantaranya ada yang luka berat, dan harus opname di Rumah Sakit, satu-satunya diantara kelompok pedagang yang senantiasa menggunakan angkutan tersebut yang selamat adalah remaja yang pikulannya patah disawah tadi.

Subhanallah, dua jam sebelumnya patah pikulan dianggap musibah besar, dua jam kemudian patah pikulan adalah suatu rahmat Allah & keberuntungan luar biasa.

Wallahu'alam bishowab

Sabtu, 02 Mei 2009

Menghiasi Hati Dengan Menangis

 “Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding d...engan balasan dan siksa Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain

Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Rabb-mulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi.

Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.

Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung

Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.

Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Seperti itulah Allah Allah Subhanahu Wa Ta'ala nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”

Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit

Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.

Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.

Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.

Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Al-Baqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Menyadari bahwa adzab Allah teramat pedih

Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)

Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.

Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan. “Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat, jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.

Wallahu Ta'ala 'Alam bishowab..Lihat Selengkapnya
 
Nasehat Dari Aby Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog