Jumat, 04 Juli 2008

PRASANGKA

PRASANGKA

Aku dilukai dan dikecewakan seorang kawan,
dan menemukan diriku marah berkepanjangan,
Aku merusak semangatku
...karena orang lain.

Aku tidak mewujudkan mimpiku dengan seketika,
kemudian berhenti berusaha.
Aku merusak semangatku
karena Ketidaksabaran.

Aku merasakan turunnya hujan di pintu musim kemarauku,
dan mengeluh semuanya itu tidak cukup.
Aku merusak semangatku
karena cuaca.

Aku memperhatikan hal-hal yang kumiliki
dan menyebut semuanya itu tidak cukup.
Aku merusak semangatku
karena Rasa Kekurangan.

Aku berlari tergesa-gesa
dan kehilangan rasa damaiku.
Aku merusak semangatku
karena Waktu dan Tindakan.

Aku melihat tantangan sebagai masalah,
dan takut terhadap hal buruk yang akan terjadi.
Aku merusak semangatku
karena Kecemasan.

----------------------

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan). [QS Yunus, 10: 36]

Dalam kajian etika (Islam), prasangka dibedakan dalam dua jenis. Prasangka yang mendatangkan dosa dan prasangka yang tidak mendatangkan dosa. Yang pertama dilakukan oleh orang yang berprasangka dengan menampakkannya melalui ucapan. Yang kedua dilakukan oleh orang yang hanya berprasangka dalam hati. Yang pertama berimplikasi dosa, sedangkan yang kedua – pada dasarnya – “tidak”. Namun bila dibiarkan dan tidak dikendalikan dengan tepat, prasangka yang kedua pun bisa menjadi pembuka jalan terjadinya prasangka yang pertama. Prasangka yang yang terucap pada mulanya terjadi karena prasangka dalam hati. Dan oleh karenanya, orang-orang bijak menasihati, keduanya harus dihindari.
Orang boleh berdalih: “Tidak setiap prasangka itu bermakna negatif. Semua berpulang pada niat manusianya”. Tetapi harus diingat, bahwa setiap niat bisa berubah selaras dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Banyak orang yang semula berniat baik, namun seiring dengan perubahan situasi dan kondisi, tiba-tiba semuanya menjadi serba berubah. Setiap manusia tidak bisa memperkirakan secara tepat, kapan niat itu tiba-tiba bisa berubah, karena mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Mungkin perubahan-perubahan situasi dan kondisi yang sangat cepat, memaksa dirinya untuk mengubah niat, atau dengan tanpa sengaja berubah niat. Itulah panggung kehidupan, yang memang tidak pernah menentu, Kata orang sebgian bijak: ”tidak ada rumus matematis yang serba-pasti bagi kehidupan ini, termasuk di dalamnya kehidupan manusia ketika dirinya harus berhadapan dengan realitas yang selalu berubah”.

Ketika kita semua hidup dalam dunia prasangka, maka sangat muingkin segalanya menjadi serba tidak nyaman. Hidup ini serasa penuh beban, dan dalam banyak hal sulit untuk dinikmati. Kita semakin akan mudah untuk saling-curiga dengan siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Sebut saja, ketika ada seseorang atau sekelompok orang tiba-tiba “ada” di hadapan kita dengan pandangan penuh senyum dan tawa, tiba-tiba kita pun menerka: “ada apa dengan senyum dan tawa itu”. Jangan-jangan orang itu sedang menertawakan diri kita. Lalu kita pasang kuda-kuda untuk menghadapinya dengan sikap “siap-perang”. Begitu juga, ketika ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang datang tiba-tiba dengan muka masam dan kusut, kita pun punya sikap yang – kurang lebih – sama: “siap-perang”. Pendek kata, apa pun yang kita temukan pada setiap orang dalam setiap ruang dan waktu, akan kita sikapi dengan langkah awal: “negative-thinking”. Seolah-olah tidak ada ruang lagi di relung hati kita untuk berpikir positif pada siapa pun, di mana pun dan kapan pun.

Melawan prasangka, bagi setiap pecinta kebenaran bukanlah hal yang sulit. Menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup bukanlah hal yang aneh. “Merupakan sebuah keharusan abadi”. Dan oleh karenanya, setiap muslim sudah semestinya (bisa) menghindar terhadap semua “prasangka”, dan apalagi “berprasangka“. Dengan kata lain: “tidak dibenarkan berprasangka buruk kepada orang lain, dan biarkan semua orang berprasangka terhadap dirinya ketika dia harus memilih untuk menjadi yang benar“.

Agama kita, “Islam”, hanya membolehkan berprasangka dalam rangka berhati-hati terhadap semua informasi yang disampaikan orang fasik agar tidak terkecoh oleh bualan mereka. Dan selebihnya: kita harus menyatakan ‘tidak” untuk semua prasangka. Demi kemashalatan kita bersama “here and here-after” (fid dunya wal âkhirah).

Wallahu Ta’ala ‘Alam bishowab
 
Nasehat Dari Aby Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog