Kamis, 04 September 2008

ISTRI YANG DIUJI

ISTRI YANG DIUJI
[Untuk Saudariku R di suatu tempat]


Hidup adalah kesinambungan ujian yang berkelanjutan. Setiap kita diuji. Jangan mengira hanya kita saja yang diuji, tetapi semua manusia dengan caranya masing-masing. Tetapi biasalah, kita hanya melihat pelangi yang ada di atas kepala orang lain. Maksudnya, kita sering merasakan, hidup... orang lain lebih indah, lebih bahagia ... hanya kita yang menderita. Pada hal, setiap kita diuji, pada titik kelemahan masing masing. Dan inilah cerita ... istri yang diuji.

Bagaimana aku di mata suami ku? Apakah aku ini masih dicintainya? Atau aku masih diterima sebagai istri hanya karena sudah tidak ada pilihan dan jalan yang lain lagi ... Lalu pernikahan yang tidak bahagia ini, walau sengsara sekalipun harus diteruskan. Nanti apa kata sanak saudara? Apa pula anggapan teman-teman? Dan yang paling penting, bagaimana pula nasib anak-anak kalau aku bercerai nanti.

Lalu dikayuh jugalah bahtera pernikahan yang diumpamakan sudah hilang angin itu. Meskipun layarnya sudah terkoyak. Alhasil, rumah tangga terumbang-ambing. Ke depan tidak, ke belakang pun tidak. Jemu. Beku! Ah, apakah benar pernikahan itu bagai kuburan percintaan?

Jika rasa-rasa seperti di atas telah dirasakan oleh istri, maka memang benar pada saat itu memang benar pernikahan itu kuburan percintaan.Bukan saja kuburan, bahkan ia sudah menjadi neraka. Pada saat itulah harga diri istri berada di tingkat yang paling rendah. Dia seolah-olah tidak ada harga diri lagi. Keyakinannya sudah terkikis, harapannya sudah menipis. Seperti apa harga diri? Martabat? Status?

Secara mudah harga diri ditafsirkan sebagai penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri pada kemampuannya untuk berhasil atau bahagia dalam hidup. Pendek kata, jika seseorang ingin bahagia dia harus memiliki harga diri yang tinggi. Dia harus merasa layak, mampu dan kompeten untuk berhasil. Dia 'feel good' dengan dirinya sendiri. Berbeda dengan mereka yang memiliki harga diri yang rendah. Mereka akan selalu merasa lemah, tidak yakin dan ragu-ragu pada kemampuan diri sendiri untuk bahagia.

Tanda istri yang hilang harga diri begitu signifikan. Terkadang jadi pemurung. Banyak memencilkan diri. Atau ada pula yang mudah marah-marah. Terlalu sensitif. Hilang semangat untuk membersihkan diri apalagi berhias atau merawat rumah. Tidak ada apa lagi yang ingin 'diperjuangkannya' atau yang akan menggembirakan atau yang menyedihkannya. Dia seperti orang mati - hilang semangat untuk hidup.

Inilah akibatnya bila seseorang lebih mementingkan pandangan suaminya terhadap diri mereka daripada pandangan diri sendiri. Apa penilaian suamiku? Apakah dia masih cinta atau telah jemu? Hidupnya dihantui prasangka.Dan prasangka itulah yang menghilangkan keceriaan dan semangatnya.

Ironisnya, lama-kelamaan perasaan rendah diri yang mulanya pasif itu akan berubah menjadi agresif. Menurut psikolog banyak orang yang pada mulanya memiliki harga diri yang rendah, akan memandang rendah kepada orang lain. Ah, suami ku juga apa kurangnya. Dia pun tidak hebat hebat amat.Ya, orang yang tidak punya harga diri tidak akan dapat menghargai orang lain sebagaimana orang yang tidak punya uang, mustahil bisa memberikannya kepada orang lain

Hakikatnya penilaian diri terhadap diri sendiri jauh lebih penting dari penilaian orang lain terhadap diri kita. Maksudnya, biar dipandang rendah di mata suami, tetapi jangan dipandang rendah di mata sendiri. Sayangnya, dalam pernikahan yang tidak bahagia banyak istri atau suami yang merasa harga diri mereka direndahkan oleh pasangannya.



Dalam sebuah rumah tangga, harga diri sangat penting apakah pada suami maupun isteri. Suami terutama tidak bisa memandang rendah pada dirinya sendiri. Rasakanlah yang diri kita bisa dan mampu untuk memimpin, melindungi dan menghidupi keluarga. Bila harga diri suami tinggi maka barulah barulah dia akan mampu menghargai istrinya. Awas, jika kita sering sombong, meremeh-temehkan bahkan menghina pasangan kita itu menunjukkan harga diri kita yang rendah!

Para istri tidak dapat membandingkan diri kita dengan orang lain secara tidak sehat. Konon, istri orang lain lebih bijak, kaya dan lebih beruntung dari kita. Dia lupa bahwa setiap kita memiliki kelebihan tersendiri. Kita adalah unik, dan dunia tidak akan lengkap tanpa kehadiran kita. Kita dibuat untuk berhasil dan bahagia.

Maha Suci Allah, yang sekali-kali menciptakan hamba-Nya untuk gagal dan menderita. Allah menciptakan kita untuk berhasil dan bahagia. Sebab itulah diturunkan untuk kita Rasulullah saw dengan Al Quran dan sunahnya. Dan kepada setiap individu diberikan berbagai keistimewaan tersendiri.

Soalnya, apakah kita telah membangunkan segala keistimewaan itu secara optimal? Sejauh mana segala kelebihan yang Allah berikan kepada kita telah kita kenali, kita raba dan dipergunakan? Isteri yang diuji harus mencari kembali kekuatannya. Di mana keunikan aku? Aku istimewa, aku unik, bisikkan begitu pada diri.

Siti Saudah isteri Rasulullah S.A.W. mungkin tidak secantik dan sebijak Humairah (Siti Aisyah R.A), tetapi dia tidak rendah diri, dia tidak hilang harga diri ... Lalu dia rajin bangun malam (berqiamullail) dan dikorbankan giliran mala-nya bersama Rasulullah untuk Siti Aisyah demi menyenangkan hati Rasulullah karena mengharap ridha Allah. Lihat, dia tidak merintih, mengeluh dan mengeluh nasib diri. Sebaliknya, dia tahu harga dirinya di mana!

Saudariku,

Jadilah diri kita sendiri, sayangi diri itu dengan membangun satu keyakinan bahwa Allah Maha Adil, dengan memberikan bakat dan kemampuan untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berbekalkan segala kelebihan yang kita miliki. Jangan rusak seluruh kehidupan hanya merasa tidak dihargai oleh suami. Hidup terlalu singkat dan sangat berharga untuk 'dikorbankan' hanya oleh prasangka dan curiga. Bahkan jika benar sekalipun kita dirugikan oleh suami, ingatlah suami bukan segalanya.

Bangun, dan buatkanlah harga diri kembali. InsyaAllah, bila kita mulai menghargai diri sendiri barulah orang lain akan menghargai diri kita. Kita adalah unik justru tidak ada siapa yang serupa dengan kita bisa terjadi secara eksternal maupun internal. Cara yang terbaik untuk membanding adalah bandinglah diri kita sekarang dengan potensi kita yang sebenarnya.

Ubahlah diri ke arah yang lebih baik, insya-Allah kita akan lihat suami, anak-anak dan seluruh isi rumah kita akan berubah. Dan perubahan itu dapat terjadi dua cara. Pertama, memang suami, anak-anak dan rumah tangga kita berubah menjadi lebih baik seperti yang kita harapkan. Kedua, kita yang berubah lalu mampu melihat, menafsirkan dan bertindak terhadap suami, anak-anak dan rumah tangga yang masih sama dan 'gitu-gitu' saja tetapi dengan perspektif yang berbeda.

Apa yang dulunya kita lihat sebagai derita sudah berubah bahagia karena hidayah yang Allah jatuhkan ke dalam hati kita telah memberi makna yang berbeda. Dunia tidak berubah, tetapi mata hati kita yang berubah lalu yang kita lihat hanya yang indah-indahnya saja. Alangkah bahagianya punya hati yang begitu ... bila pahit dirasakan obat, bila manis dirasakan halwa, bila asam dianggap ulam. Itulah hati yang mampu dan disediakan untuk setiap istri dan Anda layak untuk memilikinya!
Kita tidak perlu menyaingi suami untuk mendapatkan keyakinan diri. Dia tetap dia dan kita tetap kita. Jangan menunggu suami menghargai diri kita, barulah kita merasa diri kita berharga ... sebaliknya hargailah diri kita terlebih dahulu barulah suami akan menghargai kita. Merendah diri di hadapan suami, bukan berarti mengorbankan harga diri kita sebagai insan yang sempurna ciptaan Allah.

Ingatlah kata-kata ini: Jangan khawatir jika diri tidak dihargai tetapi bimbanglah jika diri memang tidak berharga. Teruslah menjalankan tanggung jawab keluarga dengan baik. Jangan sekali-kali 'sakit jiwa' karena tidak dihargai justru di dalam diri kita sudah ada keyakinan bahwa diri kita memang berharga!

--------------------------------------
MADAH SUMAYAH

Suamiku
Bunga semalam telah layu
Gugur dari jambangannya
Mujur ...Cinta kita
Bukan itu lambangnya

Mulutku telah kaku merayu
Hatiku malu untuk terus cemburu
Tidak seperti dulu ...
Karena kini kau seorang mujahid
Yang rindu memburu syahid!

Maaf jika tutur dan tingkahku
Senyum dan seri wajahku
Pudar dan hambar di matamu
Padaku yang baru belajar
... menjadi seorang mujahidah

Aku kini hanya mendoakan
Agar kau menjadi Yassir
Walau kiranya ...
Bukan aku sebagai Sumayyahmu!

Dalam tangis kucoba tersenyum
Ketika kau keluar bermusafir
Seperti redhaNya Siti hajar
Waktu ditinggalkan Ibrahim

Biarlah kita berpisah
dan aku selalu menderita
karena surga menagih ujian berat
Sedang neraka itu ...
Dipagar ribuan nikmat!

------------------------------------

Wallahu Ta’ala ‘Alam bishowab
 
Nasehat Dari Aby Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog